Selasa, 07 Mei 2013

RINGKASAN REVOLUSI ILMU BUDAYA DASAR



REVOLUSI ILMU BUDAYA DASAR
Dalam jagad ilmu pengetahuan di masa kini, perbincangantentang paradigma dan revolusi ilmu pengetahuan tidak dapatdilepaskan dari pandangan Thomas Kuhn tentang itu dalam bukunya
The Structure of Scientific Revolutions
(1970). Kuhn mengatakan bahwa perubahan dalam ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah perubahan paradigma atau cara memandang suatu persoalan. Pendapatini telah menyulut perdebatan panjang serta melahirkan kajian-kajiankritis terhadapnya.Kajian kritis tersebut dapat dibagi dua, yakni (a) yang mengujikebenaran dan manfaat pendapat Kuhn pada bidang-bidang ilmu pengetahuan tertentu dan (b) yang menilai secara kritis pendapat Kuhntentang paradigma. Pengujian pendapat Kuhn mengenai revolusi ilmu pengetahuan telah dilakukan antara lain pada bidang linguistik,ekologi, politik, sejarah dan sosiologi. Dari kajian-kajian ini, sebagianilmuwan sampai pada kesimpulan bahwa revolusi ilmu pengetahuantelah terjadi dalam disiplin tertentu, seperti ekologi (Graham danDayton, 2002) dan sosiologi (Bottomore, 1975; Kucklick, 1972),sebagian lagi berkesimpulan bahwa revolusi ilmu belum terjadi dalamdisiplin mereka. Ada pula yang menyarankan agar pemikiran Kuhntidak diperhatikan terlalu serius, karena banyak yang tidak tepat(Percival, 1976; Restivo, 1983; Shapere, 1989; Toulmin, 1970).Kajian kedua, yakni telaah kritis atas konsep paradigma telahmenemukan beberapa kelemahan pemikiran Kuhn di situ. Mastermanmisalnya, mengatakan bahwa Kuhn menggunakan istilah paradigmadengan 21 makna yang berbeda. Ini berarti bahwa Kuhn tidak konsisten, dan ini telah melemahkan pendapatnya tentang revolusiilmu pengetahuan itu sendiri (1970). Kritik yang lain mengatakan bahwa Kuhn sengaja “menggelembungkan“ makna paradigma untuk membuat pandangan-pandangannya meyakinkan, walaupun akibatnya justru membuat konsep tersebut menjadi semakin tidak jelas dan bahkan telah menjadi penghalang kita untuk memahami beberapaaspek penting dari ilmu pengetahuan itu sendiri (Shapere, 1964).
  Benarkah demikian? Mengenai paradigma, Kuhn memang tidak memberikan definisi tunggal yang tegas, jelas dan konsisten. Namun,makna-makna paradigma yang digunakannya dapat ditafsirkansebagai pandangan Kuhn tentang apa yang tercakup dalam paradigma.Konsepsi paradigma Kuhn -sebagaimana ditafsirkan oleh Newton-Smith (1981)- mencakup paling tidak,
Pertama
Generalisasi simbolismilik bersama (shared symbolic generalizations), yakni anggapan-anggapan atau asumsi-asumsi teoritis pokok yang diyakini bersama,yang tidak dipertanyakan lagi kebenarannya.
Kedua
Model-model (models), yakni analogi atau perumpamaan mengenai gejala yangdipelajari, dan disepakati sebagai “alat perantara“ (heuristic device) untuk melakukan penelitian.
Ketiga
Nilai-nilai (values). Kuhn berpendapat bahwa komunitas ilmuwan pada dasarnya menganutnilai-nilai tertentu dalam kegiatan ilmiahnya.
Keempat,
Prinsip- prinsip metafisis (metaphysical principles), yakni asumsi-asumsi yangtidak perlu diuji tetapi menentukan arah penelitian (Newton-Smith,1981:105).
Didasarkan pada sebuah asumsi bahwa perubahan dalam ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah paradigma atau cara memandang suatu persoalan. Sejak kemunculan dalam diskursus perkembangan ilmu pengetahuan, terjadi dikotomi sikap dan pemikiran dari banyak ilmuwan untuk merespon pemikiran Kuhn tersebut. Sebagian menolak pendapat Kuhn, sebagian lagi menerimanya. Yang menjadi titik soalnya adalah konsep ‘paradigma’ yang dibangun Kuhn belum secara eksplisit ditemukan, hal ini dapat dilihat dari banyaknya istilah yang dipakai sehingga ketidak-konsistenan ini sulit dipakai untuk memahami beberapa aspek penting ilmu pengetahuan.
Pemahaman ‘paradigma’ ini nampaknya bagi Ahimsa-Putra untuk memahami kenyataan, menentukan kenyataan yang dihadapi, menggolongkannya dalam kategori-kategori dan kemudian menghubungkannya dengan definisi kenyataan lainnya sehingga terjalin relasi-relasi pada pemikiran tersebut, yang kemudian membentuk suatu gambaran tentang kenyataan yang dihadapi. Selain itu dalam tataran praktek penelitian, skema paradigma yang digunakan ini untuk memberi penegasan tentang kekurangtepatan beberapa istilah serupa yang seringkali muncul dimana kemudian terdapat perbedaan teoritis atau metodologis jika dikemukakan istilah-istilah seperti ‘pendekatan, metode dan paradigma’ dalam kerangka penelitian, ulasannya dalam  Paradigma Ilmu Sosial Budaya.
Untuk mendeskripsikan mengenai konsepsi paradigm ini,  Di awali dengan pandangan Thomas Kuhn mengenai paradigm dan revolusi ilmu pengetahuan dalam buku tulisan Thomas Kuhn yang berjudul the Structure of Scientific Revolutons (1970). Kuhn mengatakan bahwa perubahan dalam ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah perubahan paradigm atau cara memandang suatu persoalan. Menurut Ahimsa-Putra (2008),  pendapat ini telah menyulut perdebatan panjang serta melahirkan kajian –kajian kritis terhadapnya.
Konsep sentral Kuhn adalah apa yang dinamakan dengan paradigma. Istilah ini tidak dijelaskan secara konsisten, sehingga dalam berbagai keterangannya sering berubah konteks dan arti. Pemilihan kata ini erat kaitannya dengan istilah “sains normal”. Kuhn mengemukakan bahwa sains normal adalah beberapa contoh praktik ilmiah nyata yang diterima (contoh-contoh yang bersama-sama mencakup dalil, teori, penerapan dan instrumentasi) menyajikan model-model yang melahirkan tradisi-tradisi tertentu dari riset ilmiah Atau dengan kata lain, sains normal adalah kerangka referensi yang mendasari sejumlah teori maupun praktik-praktik ilmiah dalam periode tertentu., Paradigma ini membimbing kegiatan ilmiah dalam masa sains normal, di mana ilmuwan berkesempatan mengembangkan secara rinci dan mendalam. Dalam tahap ini ilmuwan tidak bersikap kritis terhadap paradigma yang membimbing aktifitas ilmiahnya dan selama menjalankan riset ini ilmuwan bisa menjumpai berbagai fenomena yang disebut anomali. Jika anomali ini kian menumpuk, maka bisa timbul krisis.
Dalam krisis inilah paradigma mulai dipertanyakan. Dengan demikian sang ilmuwan sudah keluar dari sains normal. Untuk mengatasi krisis, ilmuwan bisa kembali lagi pada cara-cara ilmiah yang lama sambil memperluas cara-cara itu atau mengembangkan sesuatu paradigma tandingan yang bisa memecahkan masalah dan membimbing riset berikutnya. Jika yang terakhir ini terjadi, maka lahirlah revolusi ilmiah, dari sini nampak bahwa paradigma pada saat pertama kali muncul itu sifatnya masih sangat terbatas, baik dalam cakupan maupun ketepatannya. Paradigma memperoleh statusnya karena lebih berhasil dari pada saingannya dalam memecahkan masalah yang mulai diakui oleh kelompok praktisi bahwa masalah-masalah itu rawan. Keberhasilan sebuah paradigma semisal analisis Aristoteles mengenai gerak, atau perhitungan Ptolemaeus tentang kedudukan planet, atau yang lainnya. Pada mulanya sebagian besar adalah janji akan keberhasilan yang dapat ditemukan contoh-contoh pilihan dan yang belum lengkap. Dan ini sifatnya masih terbatas serta ketepatannya masih dipertanyakan
Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra (2008) menyatakan bahwa terdapat sejumlah kritik yang dilontarkan terhadap ilmu-ilmu sosial-budaya di Indonesia. Diantaranya adalah, pertama, bahwa secara teoritis dan metodologis ilmu sosial-budaya di Indonesia tidak banyak mengalami perkembangan (Redaksi; Prisma, 1994). Paradigma penelitian mereka tidak banyak bergeser dari dari paradigma perubahan atau paradigma historis, ditambah dengan beberapa varian paradigma yang positivistic,seperti analisis variable dan fungsionalisme-struktural (Ahimsa-Putra,2005).Kedua, belum terlihat arah pengembangan yang jelas dari ilmu sosial-budaya di Indonesia. Ketiga, ilmu-ilmu ini dipandang tidak banyak memberikan sumbangan nyata pada upaya mengatasi berbagai masalah sosial-budaya di Indonesia (Manning, 1984: 179). Akibatnya, hasil penelitian mereka kurang dirasakan manfaatnya bagi pembangunan masyarakat (social development) (Tjokrowinoto: 1984). Penulis melanjutkan dengan menyatakan bahwa tidak berkembangnya wacana kritis tentang teori, konsep dan metode ilmu sosial-budaya di Indonesia (Kleden 1984; cf. Soedjatmoko, 1984) merupakan bukti yang paling jelas dari kurangnya pemahaman mengenai paradigma pada ilmuwan sosial-budaya (walaupun tidak semua). Jadi , menurut Ahimsa-Putra (2008) apa yang sangat diperlukan kini adalah sebuah konsepsi tentang paradigma.
Definisi paradigma oleh Ahimsa-Putra dengan mengatakan bahwa paradigma atau yang muncul dengan makna lainya, seperti kerangka teoritis, kerangka konseptual, merupakan “seperangkat konsep yang berhubungan satu sama lain secara logis membentuk sebuah kerangka pemikiran….” Kerangka pemikiran menurutnya adalah tools atau alat untuk memahami kenyataan, mendefinisikan kenyataan, menentukan kenyataan yang dihadapi, menggolongkannya ke dalam kategori-kategori dan kemudian menghubungkannya dengan definisi kenyataan lainnya, hal yang kemudian membuat adanya jalinan relasi-relasi pada pemikiran tersebut, setelah itu membentuk suatu gambaran tentang kenyataan yang dihadapi. Kaplan juga sedikit memberikan penjelasan atas cara kerja kerangka pemikirian, atau yang disebutnya orientasi teoretik, sebagai mekanisme tertentu serta hubungan antara variable-variabel yang tercakup dalam fenomena yang diselidiki.
Dalam membentuk sebuah paradigma, terdapat sejumlah komponen atau unsur-unsur yang kemudiannya merekonstruksikannya, oleh Ahimsa-Putra diidentifikasi sebanyak sembilan elemen penting yang sebelumnya telah dikonsepsikan oleh Cuff dan Payne namun dianggap belum lengkap yaitu asumsi, nilai-nilai, model, permasalahan, konsep-konsep pokok, metode penelitian, metode analisis, hasil analisis/teori, dan representasi. Dalam tulisan ini, hanya beberapa komponen paradigm yang dituturkan kembali.
Revolusi yang terjadi dalam sebuah paradigma antropologi budaya atau ilmu sosial-budaya tidak hanya menghasilkan sebuah paradigma baru yang melengkapi paradigma lama, tetapi juga melahirkan satu atau beberapa sub paradigma baru dalam paradigma lama. Dalam perkembangan pemikiran antropologi budaya, revolusi paradigma dianggap mencerminkan perkembangan pemikiran dalam ilmu sosial budaya pada umumnya. Padahal, revolusi keilmuan dalam ilmu sosial-budaya bukanlah pergantian paradigma karena paradigma yang lama tidak ditinggalkan setelah paradigma baru lahir yang mengungkap aspek-aspek tertentu dari kenyataan yang sebelumnya terabaikan.
Hal tersebut disampaikan oleh Prof Dr Heddy Shri Ahimsa Putra MA, Mphil, dalam pidato pengukuhan jabatan Guru Besar Ilmu Budaya, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, Senin (10/11) di ruang balai senat UGM.
Dalam pidatonya yang berjudul “Paradigma dan Revolusi Ilmu dalam Antropologi Budaya”, Heddy Ahimsa menegaskan, munculnya paradigma baru sebenarnya tidak mematikan paradigma lama, bahkan memungkinkan para ilmuwan sosial budaya memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif mengenai gejala yang mereka pelajari.
“Revolusi dalam ilmu sosial budaya bersifat memperluas cakrawala pengetahuan, sehingga memungkinkan ilmuwan memunculkan paradigma baru,” katanya.
Dalam ilmu sosial budaya, menurut pria kelahiran Yogyakarta, 28 Mei 1954 ini, garis perbedaan paradigma satu dengan yang lain tidak tegas karena selalu ada kesamaan-kesamaan pada satu atau beberapa unsurnya. Kesamaan ini bisa terletak pada asumsi dasar, pada model, atau pada metode-metodenya.
Sementara dalam antropologi budaya telah terjadi beberapa revolusi keilmuan, sehingga dalam disiplin ini terdapat banyak paradigma. Antropologi budaya kini secara paradigmatis bersifat majemuk karena antropologi budaya adalah a paradigmatically plural discipline.
Implikasi dari beberapa pandangan yang bersifat majemuk ini menurut suami Nany Phir Yani, menjadikan perspektif paradigma yang diikuti para ilmuwan tidak akan lagi berpikir terkotak-kotak berdasarkan disiplin atau obyek studi.
“Ini memungkinkan pengembangan ilmu pengetahuan yang lebih efektif dan efisien, dan dialog keilmuan di kalangan ilmuwan sosial-budaya akan lebih mudah terjalin,”
Daftar perpustakaan
http://responsibilitylife.wordpress.com/2012/10/14/review-paradigma-dan-revolusi-ilmu-dalam-antropologi-budaya-sketsa-beberapa-episode-dan-paradigma-ilmu-sosial-budaya-sebuah-pandangan-tulis/
http://www.scribd.com/doc/139210773/Heddy-Shri-Ahimsa-Putra-Paradigma-Dan-Revolusi-Ilmu-Dalam-Antropologi-Budaya-Sketsa-Beberapa-Episode

Minggu, 02 Desember 2012

MASYARAKT DAN KEMISKINAN


MASYARAKT DAN KEMISKINAN
Kemiskinan adalah kata yang sudah sangat melekat di masyarakat indonesia, karna Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Rusmas Heriawan, memprediksi garis kemiskinan pada 2012 akan lebih tinggi daripada angka kemiskinan sebelumnya. Ini karena angka kemiskinan mendekati angka inflasi yang terjadi sepanjang tahun. 
Masalah kemiskinan memang telah lama ada sejak dahulu kala. Padamasa lalu umumnya masyarakat menjadi miskin bukan karena kurang pangan,tetapi miskin dalam bentuk minimnya kemudahan atau materi. Dari ukurankehidupan modern pada masa kini mereka tidak menikmati fasilitas pendidikan pelayanan kesehatan, dan kemudahan - kemudahan lainnya yang tersedia pada jaman modern.  Kemiskinan adalah sebuah topik yang dibicarakan hampir diseluruh dunia. kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian , tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan.
Masalah kemiskinan adalah masalah yang kompleks dan global. Di indonesia masalah kemiskinan seperti tak kunjung usai. Masih banyak kita dapati para pengemis dan gelandangan berkeliaran tidak hanya di pedesaan bahkan di kota-kota besar seperti jakarta pun pemandangan seperti ini menjadi tontonan setiap hari. Kini di indonesia jerat kemiskinan semakin parah. Kemiskinan bukan semata –mata persoalan ekonomi melainkan kemiskinan kultural dan struktural.
Pemerintah Indonesia yang berorientasi mengembangkan Indonesiamenjadi negara maju dan mapan dari segi ekonomi tentu menganggap kemiskinanadalah masalah mutlak yang harus segera diselesaikan disamping masalah lain yaituketimpangan pendapatan, strukturisasi pemerintahan, inflasi, defisit anggaran dan lain lain

Banyak faktor yang membuat tingkat kemiskinan indonesia menjadi tinggi, contohnya
1. Tingkat pendidikan yang rendah
2. Produktivitas tenaga kerja rendah
3. tingkat upah yang rencah
4. distribusi pendapatan yang timpang
5. kesempatan kerja yang kurang
6. kualitas sumberdaya alam masih rendah
7. penggunaan teknologi masih kurang
8. etos kerja dan motivasi pekerja yang rendah
9. kultur/budaya (tradisi)
10. politik yang belum stabil

kesemua faktor tersebut di atas saling mempengaruhi, dan sulit memastikan penyebab kemiskinan yang paling utama atau faktor mana yang berpengaruh langsung maupun tidak langsung.
diantaranya Dampak kemiskinan terhadap masyarakat umumnya begitu banyak dan kompleks,:
1.     Penganguran
2.     Kekerasan
3.     Pendidikan
4.     Kesehatan
Seperti telah disinggung di atas bahwa kemiskinan merupakan suatu masalah yang kompleks yang tak terpisahkan dari pembangunan mekanisme sosial, ekonomi dan politik yang berlaku. Ole karena itu setiap upaya pengetasan kemiskinan secara tuntas menuntut peninjauan sampai keakar masalah, jadi, memang tak ada jalan pintas untuk mengetaskan masalah kemiskinan ini. Penanggulanganya tidak bisa secara tergesa-gesa.
Ada tiga ciri kemiskinan yang menonjol di indonesia. Pertama, banyak rumah tangga yang berada disekitar garis kemiskinan nasional, yang setara dengan PPPAS$1,55-per hari, sehingga banyak penduduk yang meskipun tidak tergolong miskin tetapi rentan terhadap kemiskinan. Kedua, ukuran kemiskinan didasarkan pada pendapatan sehingga tidak mengambarkan batas kemiskinan yang sebenarnya. Banyak orang yang tidak tergolong miskin dari segi pendapatan dapat dikatagorikan sebagai miskin atas dasar kurangnya akses terhadap pelayanan dasar serta rendahnya indikator-indikator pembangunan pembangunan manusia. Ketiga, mengingat sangat luas dan beragamnya wilayah indonesia, perbedaan antar daerah merupakan ciri mendasar dari kemiskinan di indonesia.
Untuk menanggulangi semua permasalahan kemiskinan yang terjadi di indonesia, bukan haya pemerintah saja yang harus berpikir untuk menanggulani kita sebagai warga negara wajib membantu untuk menanggulannginya, dengan cara berpartisipasi ketika ada acara sosial. Menghemat dalam segalahal, dan yang paling utama pemerintah dan masyarakt indonesia harus bekerja sama untuk meminimalisir tingkat kemiskinan indonesia. Ituh semua harus dilakukan untuk membangkitkan negarakita dalam keterpurukan baik dari krisis ekonomi maupun kemiskinan yang semakin meningkat tiap tahunya, agar negara kita bisa berkembang dan maju serta mensejajarkan dengan negara maju yang sejahtera.

sumber