REVOLUSI
ILMU BUDAYA DASAR
Dalam jagad ilmu pengetahuan di masa
kini, perbincangantentang paradigma dan revolusi ilmu pengetahuan tidak
dapatdilepaskan dari pandangan Thomas Kuhn tentang itu dalam bukunya
The Structure
of Scientific Revolutions
(1970). Kuhn mengatakan bahwa
perubahan dalam ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah perubahan paradigma
atau cara memandang suatu persoalan. Pendapatini telah menyulut perdebatan
panjang serta melahirkan kajian-kajiankritis terhadapnya.Kajian kritis tersebut
dapat dibagi dua, yakni (a) yang mengujikebenaran dan manfaat pendapat Kuhn
pada bidang-bidang ilmu pengetahuan tertentu dan (b) yang menilai secara
kritis pendapat Kuhntentang paradigma. Pengujian pendapat Kuhn mengenai
revolusi ilmu pengetahuan telah dilakukan antara lain pada bidang
linguistik,ekologi, politik, sejarah dan sosiologi. Dari kajian-kajian ini,
sebagianilmuwan sampai pada kesimpulan bahwa revolusi ilmu pengetahuantelah
terjadi dalam disiplin tertentu, seperti ekologi (Graham danDayton, 2002) dan sosiologi
(Bottomore, 1975; Kucklick, 1972),sebagian lagi berkesimpulan bahwa revolusi
ilmu belum terjadi dalamdisiplin mereka. Ada pula yang menyarankan agar
pemikiran Kuhntidak diperhatikan terlalu serius, karena banyak yang tidak
tepat(Percival, 1976; Restivo, 1983; Shapere, 1989; Toulmin, 1970).Kajian
kedua, yakni telaah kritis atas konsep paradigma telahmenemukan beberapa
kelemahan pemikiran Kuhn di situ. Mastermanmisalnya, mengatakan bahwa Kuhn
menggunakan istilah paradigmadengan 21 makna yang berbeda. Ini berarti bahwa
Kuhn tidak konsisten, dan ini telah melemahkan pendapatnya tentang
revolusiilmu pengetahuan itu sendiri (1970). Kritik yang lain
mengatakan bahwa Kuhn sengaja “menggelembungkan“ makna paradigma
untuk membuat pandangan-pandangannya meyakinkan, walaupun
akibatnya justru membuat konsep tersebut menjadi semakin tidak jelas
dan bahkan telah menjadi penghalang kita untuk memahami beberapaaspek
penting dari ilmu pengetahuan itu sendiri (Shapere, 1964).
Benarkah demikian? Mengenai
paradigma, Kuhn memang tidak memberikan definisi tunggal yang tegas, jelas
dan konsisten. Namun,makna-makna paradigma yang digunakannya dapat
ditafsirkansebagai pandangan Kuhn tentang apa yang tercakup dalam
paradigma.Konsepsi paradigma Kuhn -sebagaimana ditafsirkan oleh Newton-Smith
(1981)- mencakup paling tidak,
Pertama
Generalisasi simbolismilik bersama (shared symbolic generalizations), yakni
anggapan-anggapan atau asumsi-asumsi teoritis pokok yang diyakini bersama,yang
tidak dipertanyakan lagi kebenarannya.
Kedua
Model-model (models), yakni analogi atau perumpamaan mengenai gejala
yangdipelajari, dan disepakati sebagai “alat perantara“ (heuristic device) untuk melakukan
penelitian.
Ketiga
Nilai-nilai (values). Kuhn berpendapat bahwa komunitas ilmuwan pada
dasarnya menganutnilai-nilai tertentu dalam kegiatan ilmiahnya.
Keempat,
Prinsip- prinsip metafisis (metaphysical principles), yakni
asumsi-asumsi yangtidak perlu diuji tetapi menentukan arah penelitian
(Newton-Smith,1981:105).
Didasarkan pada sebuah asumsi bahwa perubahan dalam ilmu pengetahuan pada
dasarnya adalah paradigma atau cara memandang suatu persoalan. Sejak kemunculan
dalam diskursus perkembangan ilmu pengetahuan, terjadi dikotomi sikap dan
pemikiran dari banyak ilmuwan untuk merespon pemikiran Kuhn tersebut. Sebagian
menolak pendapat Kuhn, sebagian lagi menerimanya. Yang menjadi titik soalnya
adalah konsep ‘paradigma’ yang dibangun Kuhn belum secara eksplisit ditemukan,
hal ini dapat dilihat dari banyaknya istilah yang dipakai sehingga
ketidak-konsistenan ini sulit dipakai untuk memahami beberapa aspek penting
ilmu pengetahuan.
Pemahaman ‘paradigma’ ini nampaknya bagi Ahimsa-Putra untuk memahami
kenyataan, menentukan kenyataan yang dihadapi, menggolongkannya dalam
kategori-kategori dan kemudian menghubungkannya dengan definisi kenyataan
lainnya sehingga terjalin relasi-relasi pada pemikiran tersebut, yang kemudian
membentuk suatu gambaran tentang kenyataan yang dihadapi. Selain
itu dalam tataran praktek penelitian, skema paradigma yang digunakan ini untuk memberi
penegasan tentang kekurangtepatan beberapa istilah serupa yang seringkali
muncul dimana kemudian terdapat perbedaan teoritis atau metodologis jika
dikemukakan istilah-istilah seperti ‘pendekatan, metode dan paradigma’ dalam
kerangka penelitian, ulasannya dalam Paradigma Ilmu Sosial Budaya.
Untuk mendeskripsikan mengenai
konsepsi paradigm ini, Di awali dengan
pandangan Thomas Kuhn mengenai paradigm dan revolusi ilmu pengetahuan dalam
buku tulisan Thomas Kuhn yang berjudul the Structure of Scientific
Revolutons (1970). Kuhn mengatakan bahwa perubahan dalam ilmu pengetahuan
pada dasarnya adalah perubahan paradigm atau cara memandang suatu persoalan.
Menurut Ahimsa-Putra (2008), pendapat ini telah menyulut perdebatan
panjang serta melahirkan kajian –kajian kritis terhadapnya.
Konsep
sentral Kuhn adalah apa yang dinamakan dengan paradigma. Istilah ini tidak
dijelaskan secara konsisten, sehingga dalam berbagai keterangannya sering
berubah konteks dan arti. Pemilihan kata ini erat kaitannya dengan istilah
“sains normal”. Kuhn mengemukakan bahwa sains normal adalah beberapa contoh praktik ilmiah nyata yang diterima
(contoh-contoh yang bersama-sama mencakup dalil, teori, penerapan dan
instrumentasi) menyajikan model-model yang melahirkan tradisi-tradisi tertentu
dari riset ilmiah Atau dengan kata lain, sains normal adalah kerangka referensi
yang mendasari sejumlah teori maupun praktik-praktik ilmiah dalam periode
tertentu., Paradigma ini membimbing kegiatan ilmiah dalam masa sains normal, di
mana ilmuwan berkesempatan mengembangkan secara rinci dan mendalam. Dalam tahap
ini ilmuwan tidak bersikap kritis terhadap paradigma yang membimbing aktifitas
ilmiahnya dan selama menjalankan riset ini ilmuwan bisa menjumpai berbagai
fenomena yang disebut anomali. Jika anomali ini kian menumpuk, maka bisa timbul
krisis.
Dalam krisis
inilah paradigma mulai dipertanyakan. Dengan demikian sang ilmuwan sudah keluar
dari sains normal. Untuk mengatasi krisis, ilmuwan bisa kembali lagi pada
cara-cara ilmiah yang lama sambil memperluas cara-cara itu atau mengembangkan
sesuatu paradigma tandingan yang bisa memecahkan masalah dan membimbing riset
berikutnya. Jika yang terakhir ini terjadi, maka lahirlah revolusi ilmiah, dari
sini nampak bahwa paradigma pada saat pertama kali muncul itu sifatnya masih
sangat terbatas, baik dalam cakupan maupun ketepatannya. Paradigma memperoleh
statusnya karena lebih berhasil dari pada saingannya dalam memecahkan masalah
yang mulai diakui oleh kelompok praktisi bahwa masalah-masalah itu rawan. Keberhasilan
sebuah paradigma semisal analisis Aristoteles mengenai gerak, atau perhitungan
Ptolemaeus tentang kedudukan planet, atau yang lainnya. Pada mulanya sebagian
besar adalah janji akan keberhasilan yang dapat ditemukan contoh-contoh pilihan
dan yang belum lengkap. Dan ini sifatnya masih terbatas serta ketepatannya
masih dipertanyakan
Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra
(2008) menyatakan bahwa terdapat sejumlah kritik yang dilontarkan terhadap
ilmu-ilmu sosial-budaya di Indonesia. Diantaranya adalah, pertama, bahwa secara
teoritis dan metodologis ilmu sosial-budaya di Indonesia tidak banyak mengalami
perkembangan (Redaksi; Prisma, 1994). Paradigma penelitian mereka tidak banyak
bergeser dari dari paradigma perubahan atau paradigma historis, ditambah dengan
beberapa varian paradigma yang positivistic,seperti analisis variable dan
fungsionalisme-struktural (Ahimsa-Putra,2005).Kedua, belum terlihat arah
pengembangan yang jelas dari ilmu sosial-budaya di Indonesia. Ketiga, ilmu-ilmu
ini dipandang tidak banyak memberikan sumbangan nyata pada upaya mengatasi
berbagai masalah sosial-budaya di Indonesia (Manning, 1984: 179). Akibatnya,
hasil penelitian mereka kurang dirasakan manfaatnya bagi pembangunan masyarakat
(social development) (Tjokrowinoto: 1984). Penulis melanjutkan dengan
menyatakan bahwa tidak berkembangnya wacana kritis tentang teori, konsep dan
metode ilmu sosial-budaya di Indonesia (Kleden 1984; cf. Soedjatmoko, 1984)
merupakan bukti yang paling jelas dari kurangnya pemahaman mengenai paradigma
pada ilmuwan sosial-budaya (walaupun tidak semua). Jadi , menurut Ahimsa-Putra
(2008) apa yang sangat diperlukan kini adalah sebuah konsepsi tentang
paradigma.
Definisi paradigma oleh Ahimsa-Putra dengan mengatakan bahwa paradigma
atau yang muncul dengan makna lainya, seperti kerangka teoritis, kerangka
konseptual, merupakan “seperangkat konsep yang berhubungan satu sama
lain secara logis membentuk sebuah kerangka pemikiran….” Kerangka pemikiran
menurutnya adalah tools atau alat untuk memahami kenyataan, mendefinisikan kenyataan, menentukan kenyataan yang dihadapi,
menggolongkannya ke dalam kategori-kategori dan kemudian menghubungkannya
dengan definisi kenyataan lainnya, hal yang kemudian membuat adanya jalinan
relasi-relasi pada pemikiran tersebut, setelah itu membentuk suatu gambaran
tentang kenyataan yang dihadapi. Kaplan juga sedikit memberikan penjelasan atas
cara kerja kerangka pemikirian, atau yang disebutnya orientasi teoretik,
sebagai mekanisme tertentu serta hubungan antara variable-variabel yang tercakup
dalam fenomena yang diselidiki.
Dalam membentuk sebuah paradigma, terdapat sejumlah komponen atau
unsur-unsur yang kemudiannya merekonstruksikannya, oleh Ahimsa-Putra
diidentifikasi sebanyak sembilan elemen penting yang sebelumnya telah
dikonsepsikan oleh Cuff dan Payne namun dianggap belum lengkap yaitu asumsi,
nilai-nilai, model, permasalahan, konsep-konsep pokok, metode penelitian,
metode analisis, hasil analisis/teori, dan representasi. Dalam tulisan ini,
hanya beberapa komponen paradigm yang dituturkan kembali.
Revolusi yang terjadi
dalam sebuah paradigma antropologi budaya atau ilmu sosial-budaya tidak hanya
menghasilkan sebuah paradigma baru yang melengkapi paradigma lama, tetapi juga
melahirkan satu atau beberapa sub paradigma baru dalam paradigma lama. Dalam
perkembangan pemikiran antropologi budaya, revolusi paradigma dianggap
mencerminkan perkembangan pemikiran dalam ilmu sosial budaya pada umumnya.
Padahal, revolusi keilmuan dalam ilmu sosial-budaya bukanlah pergantian
paradigma karena paradigma yang lama tidak ditinggalkan setelah paradigma baru
lahir yang mengungkap aspek-aspek tertentu dari kenyataan yang sebelumnya
terabaikan.
Hal tersebut
disampaikan oleh Prof Dr Heddy Shri Ahimsa Putra MA, Mphil, dalam pidato
pengukuhan jabatan Guru Besar Ilmu Budaya, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM,
Senin (10/11) di ruang balai senat UGM.
Dalam pidatonya yang
berjudul “Paradigma dan Revolusi Ilmu dalam Antropologi Budaya”, Heddy Ahimsa
menegaskan, munculnya paradigma baru sebenarnya tidak mematikan paradigma lama,
bahkan memungkinkan para ilmuwan sosial budaya memperoleh pemahaman yang lebih
komprehensif mengenai gejala yang mereka pelajari.
“Revolusi dalam ilmu
sosial budaya bersifat memperluas cakrawala pengetahuan, sehingga memungkinkan
ilmuwan memunculkan paradigma baru,” katanya.
Dalam ilmu sosial
budaya, menurut pria kelahiran Yogyakarta, 28 Mei 1954 ini, garis perbedaan
paradigma satu dengan yang lain tidak tegas karena selalu ada kesamaan-kesamaan
pada satu atau beberapa unsurnya. Kesamaan ini bisa terletak pada asumsi dasar,
pada model, atau pada metode-metodenya.
Sementara dalam
antropologi budaya telah terjadi beberapa revolusi keilmuan, sehingga dalam
disiplin ini terdapat banyak paradigma. Antropologi budaya kini secara
paradigmatis bersifat majemuk karena antropologi budaya adalah a
paradigmatically plural discipline.
Implikasi dari beberapa
pandangan yang bersifat majemuk ini menurut suami Nany Phir Yani, menjadikan
perspektif paradigma yang diikuti para ilmuwan tidak akan lagi berpikir
terkotak-kotak berdasarkan disiplin atau obyek studi.
“Ini memungkinkan pengembangan
ilmu pengetahuan yang lebih efektif dan efisien, dan dialog keilmuan di
kalangan ilmuwan sosial-budaya akan lebih mudah terjalin,”
Daftar perpustakaan
http://responsibilitylife.wordpress.com/2012/10/14/review-paradigma-dan-revolusi-ilmu-dalam-antropologi-budaya-sketsa-beberapa-episode-dan-paradigma-ilmu-sosial-budaya-sebuah-pandangan-tulis/
http://www.scribd.com/doc/139210773/Heddy-Shri-Ahimsa-Putra-Paradigma-Dan-Revolusi-Ilmu-Dalam-Antropologi-Budaya-Sketsa-Beberapa-Episode
Tidak ada komentar:
Posting Komentar