Sabtu, 11 Mei 2013

EVOLUSI ILMU BUDAYA DASAR



EVOLUSI ILMU BUDAYA DASAR

Dalam pembelajran IBD (Ilmu budaya dasar) Banyak sekali komponen yang dibahas tentang social dan budaya. Ilmu budaya dasar (IBD) yang membahas teori – teori budaya yang berkembang dalam masyarakat.Dengan mempelajari ilmu budaya dasar diharapkan seseorang dapat lebih manusiawi, lebih berbudaya dan lebih halus. Ilmu sosial dasar dan ilmu budaya dasar banyak membahas banyak hal  Terutama tentang penduduk ,masyarakat dan kebudayaan.

Indonesia merupakan sebuah negara yang terletak di bagian timur dunia, negara yangbagian pulau-pulaunya termasuk dalam garis khatulistiwa berbatasan dengan dua benua danjuga dua samudra dikatakan oleh dunia sebagai tempat yang strategis untuk melakukankegiatan agraris dan maritim sehingga tumbuhan-tumbuhan yang dapat memakmurkan dapattumbuh subur disana. Karena terletak di garis khatulistiwa, Indonesia memiliki beragamcorak kebudayaan yang dimiliki oleh para penduduknya mulai dari bagia timur sampaidengan bagian barat. Beragam kebudayaan tersebut semakin bercorak lagi dengan kedatangan para pedagang-pedagang asing yang datang dari Asia dan Eropa, adanyakemungkinan perubahan sosial dapat terjadi di Indonesia, baik secara paksa ataupun kebudayaan tersebut dapat diterima oleh masyarakat
Untuk menganalisa secara ilmiah tentang gejala-gejala dan kejadian sosila budaya di masyarakat sebagai proses-proses yang sedang berjalan atau bergeser kita memrlukan beberapa konsep. Konsep-konsep tersebut sangat  perlu untuk menganalisa proses pergeseran masyarakat dan kebudayaan serta dalam sebuah penelitian antropologi dan sosiologi yang disebut dinamik sosial (social dynamic)


A. PROSES EVOLUSI SOSIAL
Proses Mikroskopik dan Makroskopik Dalam Evolusi Sosial. Proses evolusi dapat dianalisa secara mendetail(makroskopik) tetapi dapat dilihat secara keseluruhan, dengan hanya memperhatikan perubahan-perubahan besar yang telah terjadi(makroskopik). Proses evolusi sosial budaya secara makroskopik yang terjadi dalam suatu jangka waktu yang panjang, dalam antropologi disebut ”Proses-proses pemberi arah”, atau directional proses.

Proses-proses berulang dalam evolusi sosial budaya. Dalam antropologi, perhatian terhadap proses-proses berulang dalam evolusi sosial budaya baru timbul sekitar tahun 1920 bersama dengan perhatian terhadap individu dalam masyarakat.
Dalam meneliti masalah ketegangan antara adat istiadat yang berlaku dengan kebutuhan yang dirasakan oleh beberapa individu dalam suatu masyarakat, perlu diperhatikan dua konsep yang berbeda, yaitu ;
1.                       kebudayaan sebagai kompleks dari komsep norma-norma, pandangan-pandangan, dan sebagainya, yang bersifat abstrak (yaitu sistem budaya),
2.                       kebudayaan sebagai serangkaian tindakan yang konkrit, dimana para individu saling berinteraksi (yaitu sistem sosial). Kedua sistem tersebut sering saling bertentangan, dan dengan mempelajari konflik-konfliks yang ada dalam setiap masyarakat itulah dapat diperoleh pengertian mengenai dinamika masyarakat pada umumnya.
3.                       Konsep-konsep penting IBDantara lain internalisasi (internalization) , sosialisasi (socialization), dan enkulturasi (enculturation). Kemudian ada juga evolusi kebudayaan (cultural evolution) yang mengamati perkembangan kebudayaan manusia dari bentuk yang sederhana hingga bentuk yang semakin lama semakin kompleks. Serta juga ada difusi (diffusion) yaiu penyebaran kebudayaan secara geografi, terbawa oleh perpindahan bangsa-bangsa di muka bumi. Proses lain adalah proses belajar unsur-unsur kebudayaan asing oleh warga suatu masyarakat, yaitu proses akulturasi (acculturation) dan asimilasi (assimilation). Akhirnya ada proses pemabahruan atau inovasi (innovation), yang berhubungan erat dengan penemuan baru (discovery dan invention)
Logis sekali kalau contoh-contoh penerimaan perubahan paling besar bila unsur perubahan itu merupakan akibat dari kebutuhan di dalam masyarakat itu sendiri.Ini dapat merupakan usaha suatu masyarakat, untuk beradaptasi secara ekonomis dengan revolusiteknologi yang melanda seluruh dunia, meskipun dampak perubahan itu mungkin terasadalam masyarakat seluruhnya.Perubahan peranan wanita di Afrika, atau sebenamya juga diAmerika Serikat, dapat dianggap sebagai contoh perubahan seperti itu.Akan tetapi,perubahan sering dipaksakan dari luar kebudayaan, biasanya oleh kolonialisme melalui penaklukan.
Perubahan kebudayaan selain terjadi karena adanya mekanisme perubahan seperti yang telah dijelaskan di atas, bisa juga terjadi karena adanya perubahan secara paksa. Bentuk-bentuk perubahan kebudayaan secara paksa adalah kolonialisme. Penaklukan, pemberontakandan revolusi. Kolonilasme dan penaklukan biasanya ditandai oleh kemenangan militer negarapenjajah/penakluk dan pemindahtanganan kekuasaan politik tradisional ke tangankolonial/penakluk. Penduduk asli yang ditaklukkan tidak mampu menolak perubahan yangdipaksakan. Kegiatan-kegiatan tradisional di bidang ekonomi, politik, agama, sosial dibatasi
dan dipaksa untuk melakukan kegiatan-kegiatan baru yang cenderung mengisolasikanindividu dan merusak integrasi sosialnya. Perubahan kebudayaan secara paksa melaluikolonialisme dan penaklukan terjadi pada abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Politikkolonilalisme dikembangkan oleh negara-negara, seperti Belanda, Portugal, Inggris, Perancis,Spanyol dan Amerika serikat.Tidak mengherankan jika unsur-unsur budaya negara penjajahsampai sekarang masih ditemukan dan diterapkan di negara-negara bekas jajahan. Unsur-unsur bahasa, agama, system politik negara kolonial dapat ditemukan di negara bekasjajahannya.
Apabila kolonialisme dan penaklukan merupakan bentuk perubahan kebudayaansecara paksa yang berasal dari luar, maka pemberontakan dan revolusi dapat timbul daridalam masyarakat itu sendiri.Pemberontakan dan revolusi muncul karena kondisi-kondisiyang dianggap kurang menguntungkan bagi sebagian besar masyarakat. Kondisi yang dimaksud bisa berupa ketidakadilan dalam distribusi (kekayaan/material dan kekuasaan),munculnya perasaan benci pada kelompok yang dianggap sebagai penindas dan hilangnyakepercayaan penguasa. Menurut Haviland (1988: 268) terdapat lima kondisi sebagai pencetustimbulnya pemberontakan dan revolusi, yaitu: (1) hilangnya kewibawaan pejabat-pejabatyang kedudukan-nya mantap, sering sebagai kegagalan politik luar negeri, kesulitankeuangan, pemecatan menteri yang popular, atau perubahan kebijakan yang popular, (2)Bahaya terhadap kemajuan ekonomi yang baru dicapai.Di Perancis dan Rusia, golonganpenduduk (golongan profesi dan pekerja di kota-kota) yang nasib ekonominya mengalamiperbaikan sebelumnya, tertimpa oleh kesulitan-kesulitan yang tidak terduga-duga, sepertitajamnya kenaikan pangan dan pengangguran, (3) Ketidaktegasan pemerintah, sepertikebijaksanaan yang tidak konsisten. Pemerintah yang demikian itu kelihatannya sepertidikendalikan dan tidak mengendalikan peristiwa, (4) Hilangnya dukungan dari kelascendekiawan. Kehilangan seperti itu oleh pemerintah-pemerintah prarevolusi di Perencis danRusia menyebab-kan pemerintah kehilangan dukungan falsafahnya, yang menyebabkanmereka kehilangan popularitas di lingkungan cendekiawan, (5) Pemimpin atau kelompokpemimpin yang memiliki kharisma cukup besar untuk menggerakkan sebagian besar rakyat,melawan pemerintah.
Kelima kondisi di atas dapat dijadikan sebagai acuan untuk menganalisis perubahankebudayaan melalui pemberontakan dan revolusi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997-1998 (masa reformasi).Pada saat itu Presiden Soeharto, kabinet serta kroninya sudahkehilangan kewibawaan di mata rakyatnya, karena dianggap gagal membenahi persoalanekonomi politik yang terjadi.Tingkat inflasi yang tinggi, korupsi, kolusi dan nepotisme yangmerajalela mengakibatkan kehidupan rakyat semakin sengsara. Rakyat semakin tidak percayadengan rezim orde baru. Kalangan cendekiawan dan akademisi mulai mencabut dukungannyaserta menuntut untuk segera mundur. Munculnya pemimpin-pemimpin informal yangkharismatik, seperti Amin Rais, Gus Dur, Megawati Soekarnoputri, Hamengkubuwono Xyang memiliki pengaruh besar untuk menggerakkan rakyat. Dimotori oleh gerakan mahasiswadan didukung oleh pemimpin karismatik, akhirnya terjadilah perubahan besar-besaran diIndonesia yang diawali dengan mundurnya Soeharto dari jabatan Presiden pada 21 Mei 1998.
Salah satu produk sampingan kolonialisme adalah tumbuhnya antropologi terapan dandigunakannya teknik dan pengetahuan antropologi untuk keperluan "praktis”.Dengandemikian, tidak salah bila antropologi Inggris sering dipandang sebagai "hamba" politikkolonial negara tersebut, karena mereka umumnya dipaksa menyediakan informasi yangberguna untuk tetap mempertahankan kekuasaan pemerintahan kolonial di daerah jajahannya.Di Amerika Serikat, para ahli antropologi dari abad-19 sangat mendambakan kegunaandisiplin mereka, dan tidak jarang mereka turun tangan membantu orang-orang IndianAmerika, tempat mereka bekerja. Awal abad ini, karya Franz Boas, yang hampir seorang dirimelatih satu generasi ahli antropologi di Amerika Serikat, telah membantu pemerintah untukmengubah politik imigrasi negara tersebut.Dalam tahun 1930-an para ahli antropologimenanggapi sejumlah studi yang dilakukan di lingkungan industri dan lembaga-lembagalainnya, untuk tujuan-tujuan terapan.Timbulnya Perang Dunia II timbullah pekerjaan-pekerjaan khusus di bidang administrasi kolonial di luar perbatasan nenua Amerika,khususnya di daerah Pasifik, yang dikerjakan oleh pegawai-pegawai yang telah mendapatlatihan di bidang antropologi.
Timbulnya kebangkitan orang-orang Jepang untuk melawan tentara sekutu jugadisebabkan oleh pengaruh dari para ahli antropologi dalam menentukan struktur pendudukanAmerika Serikat. Eksperimen-eksperimen Amerika Utara yang dimaksudkan untuk memadu kebudayaan kolonial dengan struktur pribumi dengan kekacauan yang sekecil mungkin, jugatelah berhasil.Meskipun banyak di antara studi itu diakui memang untuk kepentingan sandimiliter, akan tetapi itu semua juga bermanfaat untuk program pengembangan ilmu pengetahuan.
Akan tetapi, seperti yang tercermin dalam beberapa kepustakaan awal tentanghubungan antara bangsa-bangsa Eropa dengan kelompok-kelompok penduduk asli, tidakmengandung pengertian antropologis dan sering tidak ada perikemanusiaan samasekali.Pertemuan antara kolonialis dengan penduduk pribumi di beberapa tempat seringmengakibatkan kematian besar-besaran, kesengsaraan yang memilukan, dan keruntuhankomunitas atau yang lebih dikenal sebagai "kerusakan kebudayaan" (culture crash).Keruntuhan tradisi komunitas seperti di atas yang ditandai dengan terjadinya khaos atauketidakstabilan sosial dan kecemasan setiap individu, sering diikuti dengan terjadinyapendudukan kolonial.Ini samasekali tidak berarti, bahwa masyarakat tradisional itu tidakmengenal bentrokan sebelum berhubungan dengan peradaban lain, tetapi berarti bahwapertentangan-pertentangan tersebut dapat diatasi melalui lembaga-lembaga kebudayaanya.
Kebudayaan asli pada awal-awal terjadinya pendudu-kan umumnya berantakan,karena lembaga-lembaga tradisional yang diciptakan untuk mengatasi ketegangan ataupertentangan diantara masyarakat pendukung sebuah kebudayaan tidak diperbolehkan olehpara penguasa kolonial untuk menangani perubahan baru yang cepat dan tidak padatempatnya dalam konteks sistem tradisional itu.Perubahan yang terlalu cepat dalam sistemnilai, misalnya, menyebabkan bagian-bagian lain dari kebudayaan menjadi ketinggalan.
Kadang-kadang penduduk pribumi memperlihatkan kekuatan dan daya tahan yangbesar dalam menghadapi dominasi Eropa, dimana mereka menemukan dan melakukan cara-cara yang kreatif dan cerdik untuk mengkounternya.Penduduk yang dimaksud orang-orangTrobriand yang berada di bawah pemerintahan kolonial Inggris. Para misionaris suatu ketikamemperkenalkan sebuah permainan tradisional Inggris bernama “cricket” kepada masyarakatTrobriand yang menjadi daerah jajahan negaranya. Akan tetapi, semua penduduk berusahadan sepakat untuk membendung masuknya permainan Inggris secara utuh denganmenjadikannya sebagai suatu pertandingan yang benar-benar bersifat Trobriand.Tidak"primitif" dan juga tidak terlalu sesuai dengan bentuk aslinya di Inggris.Cr icket ala Trobriand
yang kreatif ini disejajarkan dengan kegiatan-kegiatan yang khas, yang tetap mempertahankanpentingnya pandangan-pandangan pokok dalam kebudayaan pribumi itu.Semua orang yangberkepentingan dengan permainan itu kelihatan gembira dan bangga, dan para pemainnyasama semangatnya untuk memamerkan siapakah diantara mereka itu mampu mencetak nilai.Mulai dari mengecat mukanya sebagai tanda persiapan untuk bermain, nyanyian tim yangmembawakan lagu-lagu yang bernada "kasar", tari-tarian rombongan yang saling memberisemangat, tidak dapat diragukan lagi, bahwa setiap pemain bermain demi kepentingannyasendiri, demi kemasyhuran timnya, dan demi ratusan gadis-gadis cantik yang biasanyamenonton pertandingan itu.
Kasus-kasus akulturasi yang paling ekstrim biasanya terjadi sebagai akibat dari kemenangan militer dan pemindahtanganan kekuasaan politik tradisional ke tangan parapenakluk, yang tidak mengetahui apa-apa tentang kebudayaan yang mereka kuasai.Rakyatpribumi, yang tidak mampu menolak perubahan-perubahan yang dipaksakan, karena kegiatan-kegiatan tradisional mereka di bidan sosial, agama dan ekonomi juga turut dibatasi, sehinggamereka dengan terpaksa melakukan kegiatan-kegiatan baru yang cenderung mengisolasikanindividu dan mengoyak-koyak integrasi sosialnya.Sistem perbudakan di Amerika Serikatpada masa kolonialnya, merupakan contoh yang paling terkenal, yang memberi penjelasantentang masalah hubungan antar-ras yang dahulu dikemas dalam istilah "inferioritas rasial."Perlu juga saya kemukakan di sini, bahwa sistem perbudakan yang terjadi di Amerika padaawalnya tidak hanya terjadi di Amerika Serikat saja, tetapi juga hingga ke negara-negarabagian, seperti di daerah-daerah perkebunan di Kepulauan Karibia dan di daerah-daerahpantai Amerika Selatan hingga ke bagian tenggara Amerika Serikat.Masaah-masalah rasialyang diwarisi Amerika Serikat dari zaman perbudakan itu juga terdapat di daerah-daerahAmerika yang pernah menjalankan praktek-praktek perbudakan.


DAFTAR PERPUSTAKAAN
·         http://new4share.blogspot.com/2012/01/ilmu-sosial-dasar-dan-ilmu-budaya-dasar.html

Selasa, 07 Mei 2013

Latex



cara membuat underline, italic, bold, dan warna pada tulisan di latex










(1)    \documentclass{Article} Berfungsi untuk membuat dokumen
(2)    \usepackage{color} Berfungsi untuk mengubah warna text
(3)    \begin{document} Memulai Dokumen
(4)    \it{\textcolor{cyan} Membuat text berwarna biru muda, dan text dalam bentuk Italic
(5)    \bf{\textcolor{magenta} Membuat text berwarna merah muda, dan text dalam bentuk Bold
(6)    \textcolor{green} Membuat text berwarna hijau, dan text dalam Underline
\end{document} Mengakhiri Dokumen

RINGKASAN REVOLUSI ILMU BUDAYA DASAR



REVOLUSI ILMU BUDAYA DASAR
Dalam jagad ilmu pengetahuan di masa kini, perbincangantentang paradigma dan revolusi ilmu pengetahuan tidak dapatdilepaskan dari pandangan Thomas Kuhn tentang itu dalam bukunya
The Structure of Scientific Revolutions
(1970). Kuhn mengatakan bahwa perubahan dalam ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah perubahan paradigma atau cara memandang suatu persoalan. Pendapatini telah menyulut perdebatan panjang serta melahirkan kajian-kajiankritis terhadapnya.Kajian kritis tersebut dapat dibagi dua, yakni (a) yang mengujikebenaran dan manfaat pendapat Kuhn pada bidang-bidang ilmu pengetahuan tertentu dan (b) yang menilai secara kritis pendapat Kuhntentang paradigma. Pengujian pendapat Kuhn mengenai revolusi ilmu pengetahuan telah dilakukan antara lain pada bidang linguistik,ekologi, politik, sejarah dan sosiologi. Dari kajian-kajian ini, sebagianilmuwan sampai pada kesimpulan bahwa revolusi ilmu pengetahuantelah terjadi dalam disiplin tertentu, seperti ekologi (Graham danDayton, 2002) dan sosiologi (Bottomore, 1975; Kucklick, 1972),sebagian lagi berkesimpulan bahwa revolusi ilmu belum terjadi dalamdisiplin mereka. Ada pula yang menyarankan agar pemikiran Kuhntidak diperhatikan terlalu serius, karena banyak yang tidak tepat(Percival, 1976; Restivo, 1983; Shapere, 1989; Toulmin, 1970).Kajian kedua, yakni telaah kritis atas konsep paradigma telahmenemukan beberapa kelemahan pemikiran Kuhn di situ. Mastermanmisalnya, mengatakan bahwa Kuhn menggunakan istilah paradigmadengan 21 makna yang berbeda. Ini berarti bahwa Kuhn tidak konsisten, dan ini telah melemahkan pendapatnya tentang revolusiilmu pengetahuan itu sendiri (1970). Kritik yang lain mengatakan bahwa Kuhn sengaja “menggelembungkan“ makna paradigma untuk membuat pandangan-pandangannya meyakinkan, walaupun akibatnya justru membuat konsep tersebut menjadi semakin tidak jelas dan bahkan telah menjadi penghalang kita untuk memahami beberapaaspek penting dari ilmu pengetahuan itu sendiri (Shapere, 1964).
  Benarkah demikian? Mengenai paradigma, Kuhn memang tidak memberikan definisi tunggal yang tegas, jelas dan konsisten. Namun,makna-makna paradigma yang digunakannya dapat ditafsirkansebagai pandangan Kuhn tentang apa yang tercakup dalam paradigma.Konsepsi paradigma Kuhn -sebagaimana ditafsirkan oleh Newton-Smith (1981)- mencakup paling tidak,
Pertama
Generalisasi simbolismilik bersama (shared symbolic generalizations), yakni anggapan-anggapan atau asumsi-asumsi teoritis pokok yang diyakini bersama,yang tidak dipertanyakan lagi kebenarannya.
Kedua
Model-model (models), yakni analogi atau perumpamaan mengenai gejala yangdipelajari, dan disepakati sebagai “alat perantara“ (heuristic device) untuk melakukan penelitian.
Ketiga
Nilai-nilai (values). Kuhn berpendapat bahwa komunitas ilmuwan pada dasarnya menganutnilai-nilai tertentu dalam kegiatan ilmiahnya.
Keempat,
Prinsip- prinsip metafisis (metaphysical principles), yakni asumsi-asumsi yangtidak perlu diuji tetapi menentukan arah penelitian (Newton-Smith,1981:105).
Didasarkan pada sebuah asumsi bahwa perubahan dalam ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah paradigma atau cara memandang suatu persoalan. Sejak kemunculan dalam diskursus perkembangan ilmu pengetahuan, terjadi dikotomi sikap dan pemikiran dari banyak ilmuwan untuk merespon pemikiran Kuhn tersebut. Sebagian menolak pendapat Kuhn, sebagian lagi menerimanya. Yang menjadi titik soalnya adalah konsep ‘paradigma’ yang dibangun Kuhn belum secara eksplisit ditemukan, hal ini dapat dilihat dari banyaknya istilah yang dipakai sehingga ketidak-konsistenan ini sulit dipakai untuk memahami beberapa aspek penting ilmu pengetahuan.
Pemahaman ‘paradigma’ ini nampaknya bagi Ahimsa-Putra untuk memahami kenyataan, menentukan kenyataan yang dihadapi, menggolongkannya dalam kategori-kategori dan kemudian menghubungkannya dengan definisi kenyataan lainnya sehingga terjalin relasi-relasi pada pemikiran tersebut, yang kemudian membentuk suatu gambaran tentang kenyataan yang dihadapi. Selain itu dalam tataran praktek penelitian, skema paradigma yang digunakan ini untuk memberi penegasan tentang kekurangtepatan beberapa istilah serupa yang seringkali muncul dimana kemudian terdapat perbedaan teoritis atau metodologis jika dikemukakan istilah-istilah seperti ‘pendekatan, metode dan paradigma’ dalam kerangka penelitian, ulasannya dalam  Paradigma Ilmu Sosial Budaya.
Untuk mendeskripsikan mengenai konsepsi paradigm ini,  Di awali dengan pandangan Thomas Kuhn mengenai paradigm dan revolusi ilmu pengetahuan dalam buku tulisan Thomas Kuhn yang berjudul the Structure of Scientific Revolutons (1970). Kuhn mengatakan bahwa perubahan dalam ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah perubahan paradigm atau cara memandang suatu persoalan. Menurut Ahimsa-Putra (2008),  pendapat ini telah menyulut perdebatan panjang serta melahirkan kajian –kajian kritis terhadapnya.
Konsep sentral Kuhn adalah apa yang dinamakan dengan paradigma. Istilah ini tidak dijelaskan secara konsisten, sehingga dalam berbagai keterangannya sering berubah konteks dan arti. Pemilihan kata ini erat kaitannya dengan istilah “sains normal”. Kuhn mengemukakan bahwa sains normal adalah beberapa contoh praktik ilmiah nyata yang diterima (contoh-contoh yang bersama-sama mencakup dalil, teori, penerapan dan instrumentasi) menyajikan model-model yang melahirkan tradisi-tradisi tertentu dari riset ilmiah Atau dengan kata lain, sains normal adalah kerangka referensi yang mendasari sejumlah teori maupun praktik-praktik ilmiah dalam periode tertentu., Paradigma ini membimbing kegiatan ilmiah dalam masa sains normal, di mana ilmuwan berkesempatan mengembangkan secara rinci dan mendalam. Dalam tahap ini ilmuwan tidak bersikap kritis terhadap paradigma yang membimbing aktifitas ilmiahnya dan selama menjalankan riset ini ilmuwan bisa menjumpai berbagai fenomena yang disebut anomali. Jika anomali ini kian menumpuk, maka bisa timbul krisis.
Dalam krisis inilah paradigma mulai dipertanyakan. Dengan demikian sang ilmuwan sudah keluar dari sains normal. Untuk mengatasi krisis, ilmuwan bisa kembali lagi pada cara-cara ilmiah yang lama sambil memperluas cara-cara itu atau mengembangkan sesuatu paradigma tandingan yang bisa memecahkan masalah dan membimbing riset berikutnya. Jika yang terakhir ini terjadi, maka lahirlah revolusi ilmiah, dari sini nampak bahwa paradigma pada saat pertama kali muncul itu sifatnya masih sangat terbatas, baik dalam cakupan maupun ketepatannya. Paradigma memperoleh statusnya karena lebih berhasil dari pada saingannya dalam memecahkan masalah yang mulai diakui oleh kelompok praktisi bahwa masalah-masalah itu rawan. Keberhasilan sebuah paradigma semisal analisis Aristoteles mengenai gerak, atau perhitungan Ptolemaeus tentang kedudukan planet, atau yang lainnya. Pada mulanya sebagian besar adalah janji akan keberhasilan yang dapat ditemukan contoh-contoh pilihan dan yang belum lengkap. Dan ini sifatnya masih terbatas serta ketepatannya masih dipertanyakan
Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra (2008) menyatakan bahwa terdapat sejumlah kritik yang dilontarkan terhadap ilmu-ilmu sosial-budaya di Indonesia. Diantaranya adalah, pertama, bahwa secara teoritis dan metodologis ilmu sosial-budaya di Indonesia tidak banyak mengalami perkembangan (Redaksi; Prisma, 1994). Paradigma penelitian mereka tidak banyak bergeser dari dari paradigma perubahan atau paradigma historis, ditambah dengan beberapa varian paradigma yang positivistic,seperti analisis variable dan fungsionalisme-struktural (Ahimsa-Putra,2005).Kedua, belum terlihat arah pengembangan yang jelas dari ilmu sosial-budaya di Indonesia. Ketiga, ilmu-ilmu ini dipandang tidak banyak memberikan sumbangan nyata pada upaya mengatasi berbagai masalah sosial-budaya di Indonesia (Manning, 1984: 179). Akibatnya, hasil penelitian mereka kurang dirasakan manfaatnya bagi pembangunan masyarakat (social development) (Tjokrowinoto: 1984). Penulis melanjutkan dengan menyatakan bahwa tidak berkembangnya wacana kritis tentang teori, konsep dan metode ilmu sosial-budaya di Indonesia (Kleden 1984; cf. Soedjatmoko, 1984) merupakan bukti yang paling jelas dari kurangnya pemahaman mengenai paradigma pada ilmuwan sosial-budaya (walaupun tidak semua). Jadi , menurut Ahimsa-Putra (2008) apa yang sangat diperlukan kini adalah sebuah konsepsi tentang paradigma.
Definisi paradigma oleh Ahimsa-Putra dengan mengatakan bahwa paradigma atau yang muncul dengan makna lainya, seperti kerangka teoritis, kerangka konseptual, merupakan “seperangkat konsep yang berhubungan satu sama lain secara logis membentuk sebuah kerangka pemikiran….” Kerangka pemikiran menurutnya adalah tools atau alat untuk memahami kenyataan, mendefinisikan kenyataan, menentukan kenyataan yang dihadapi, menggolongkannya ke dalam kategori-kategori dan kemudian menghubungkannya dengan definisi kenyataan lainnya, hal yang kemudian membuat adanya jalinan relasi-relasi pada pemikiran tersebut, setelah itu membentuk suatu gambaran tentang kenyataan yang dihadapi. Kaplan juga sedikit memberikan penjelasan atas cara kerja kerangka pemikirian, atau yang disebutnya orientasi teoretik, sebagai mekanisme tertentu serta hubungan antara variable-variabel yang tercakup dalam fenomena yang diselidiki.
Dalam membentuk sebuah paradigma, terdapat sejumlah komponen atau unsur-unsur yang kemudiannya merekonstruksikannya, oleh Ahimsa-Putra diidentifikasi sebanyak sembilan elemen penting yang sebelumnya telah dikonsepsikan oleh Cuff dan Payne namun dianggap belum lengkap yaitu asumsi, nilai-nilai, model, permasalahan, konsep-konsep pokok, metode penelitian, metode analisis, hasil analisis/teori, dan representasi. Dalam tulisan ini, hanya beberapa komponen paradigm yang dituturkan kembali.
Revolusi yang terjadi dalam sebuah paradigma antropologi budaya atau ilmu sosial-budaya tidak hanya menghasilkan sebuah paradigma baru yang melengkapi paradigma lama, tetapi juga melahirkan satu atau beberapa sub paradigma baru dalam paradigma lama. Dalam perkembangan pemikiran antropologi budaya, revolusi paradigma dianggap mencerminkan perkembangan pemikiran dalam ilmu sosial budaya pada umumnya. Padahal, revolusi keilmuan dalam ilmu sosial-budaya bukanlah pergantian paradigma karena paradigma yang lama tidak ditinggalkan setelah paradigma baru lahir yang mengungkap aspek-aspek tertentu dari kenyataan yang sebelumnya terabaikan.
Hal tersebut disampaikan oleh Prof Dr Heddy Shri Ahimsa Putra MA, Mphil, dalam pidato pengukuhan jabatan Guru Besar Ilmu Budaya, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, Senin (10/11) di ruang balai senat UGM.
Dalam pidatonya yang berjudul “Paradigma dan Revolusi Ilmu dalam Antropologi Budaya”, Heddy Ahimsa menegaskan, munculnya paradigma baru sebenarnya tidak mematikan paradigma lama, bahkan memungkinkan para ilmuwan sosial budaya memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif mengenai gejala yang mereka pelajari.
“Revolusi dalam ilmu sosial budaya bersifat memperluas cakrawala pengetahuan, sehingga memungkinkan ilmuwan memunculkan paradigma baru,” katanya.
Dalam ilmu sosial budaya, menurut pria kelahiran Yogyakarta, 28 Mei 1954 ini, garis perbedaan paradigma satu dengan yang lain tidak tegas karena selalu ada kesamaan-kesamaan pada satu atau beberapa unsurnya. Kesamaan ini bisa terletak pada asumsi dasar, pada model, atau pada metode-metodenya.
Sementara dalam antropologi budaya telah terjadi beberapa revolusi keilmuan, sehingga dalam disiplin ini terdapat banyak paradigma. Antropologi budaya kini secara paradigmatis bersifat majemuk karena antropologi budaya adalah a paradigmatically plural discipline.
Implikasi dari beberapa pandangan yang bersifat majemuk ini menurut suami Nany Phir Yani, menjadikan perspektif paradigma yang diikuti para ilmuwan tidak akan lagi berpikir terkotak-kotak berdasarkan disiplin atau obyek studi.
“Ini memungkinkan pengembangan ilmu pengetahuan yang lebih efektif dan efisien, dan dialog keilmuan di kalangan ilmuwan sosial-budaya akan lebih mudah terjalin,”
Daftar perpustakaan
http://responsibilitylife.wordpress.com/2012/10/14/review-paradigma-dan-revolusi-ilmu-dalam-antropologi-budaya-sketsa-beberapa-episode-dan-paradigma-ilmu-sosial-budaya-sebuah-pandangan-tulis/
http://www.scribd.com/doc/139210773/Heddy-Shri-Ahimsa-Putra-Paradigma-Dan-Revolusi-Ilmu-Dalam-Antropologi-Budaya-Sketsa-Beberapa-Episode